SUMBAR24 — Pria renta berusia 84 tahun tersebut hidup miskin sebagai petani di kaki gunung Wilis, tepatnya tinggal di dusun Goliman, desa Parang kecamatan Banyakan, Kediri.
Bagaimana mungkin, seorang Djuwari, yang memiliki segudang ‘prestasi’ dalam perjalanan sejarah bangsa ini, sekarang tidak merasakan manisnya madu kemerdekaan.
Padahal pria renta yang hidup dari bertani dan ‘cuma’ dihargai pemerintah lewat sebuah Bantuan Langsung Tunai itu adalah saksi sejarah. Tanpa ada Djuwari, seorang Panglima Besar Jenderal Soedirman tidak mampu meneruskan perjuangannya. Meski ketika itu, Djuwari hanya bertugas memanggul sang Jenderal Besar.
Betapa tidak, selama berpuluh-puluh kilometer bersama suatu pagi hari pada tanggal 6 Januari 1949, dia dan tiga temannya, Karso, Warto, dan Joyodari memanggul tandu panglima perang gerilya itu menuju Dusun Magersari, Desa Bajulan, Kecamatan Loceret, Kabupaten Nganjuk untuk menghadapi para penjajah, Semua itu dilakukan Djuwari dengan senyuman. Karena dia berharap, sang Jenderal selamat dan mampu mengemban tugas-tugas penting kenegaraan.
Perjalanan mengantar gerilya Jenderal Soedirman seingatnya dimulai pukul 8 pagi, dengan dikawal banyak pria berseragam. Rute yang ditempuh teramat berat karena melewati medan berbukit-bukit dan hutan yang amat lebat. Seringkali perjalanan berhenti untuk beristirahat sekaligus memakan perbekalan yang dibawa.