Sepotong Kisah Achmad Mochtar, Putera Bonjol Si Jenius Ahli Bakteri

Sepotong Kisah Achmad Mochtar

SUMBAR24.COM — Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi, sejak pandemi virus corona terjadi, ditunjuk oleh Pemerintah Provinsi Sumatra Barat sebagai salah satu rumah sakit rujukan penanganan covid-19.

Dahulunya di zaman penjajahan, rumah sakit ini adalah Rumah Sakit Militer Belanda, setelah Indonesia merdeka rumah sakit yang berlokasi di jalan Dr. A. Rivai, Bukittinggi berganti status menjadi Rumah Sakit Umum Bukittinggi Klas C. Pada tahun 1981, Gubernur Sumatra Barat Azwar Anas mengusulkan kepada Menteri Kesehatan untuk menggantinya dengan nama Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Achmad Mochtar, melalui surat keputusan tertanggal 13 Oktober 1981.

Selama ini kita mungkin tidak mengenal nama dan sosok DR. Achmad Mochtar. Melalui tulisan ini admin mencoba membuka sedikit sejarah mengenai Dr. chmad Mochtar ini.

Baca juga :

Potongan Kisah Buya Hamka Bersama Soekarno, Yamin dan Pramoedya

Achmad Mochtar lahir di Ganggo Hilia, Bonjol, Pasaman, Sumatra Barat, tahun 1892, dari pasangan Omar dan Roekajah. Omar sang ayah adalah seorang guru yang berasal dari Mandahiling, Sumatra Utara, sedangkan Roekayah, Ibu beliau adalah putri asli Bonjol. Roekayah adalah cucu seorang Larashoofd (Kepala Laras).

Sewaktu masih kecil, Mochtar sering dibawa pindah orang tuanya karena seorang guru sering dipindah tempat tugasnya. Achmad Mochtar melanjutkan sekolah menengah di Batavia, Jakarta sekarang.

Dikutip dari tulisan Donny Magek Piliang, keberadaan Achmad Mochtar tidak banyak orang yang tahu, seperti apa kiprah dan bagaimana tragis kematiannya. Bahkan kampung kelahirannya pun banyak orang tidak mengetahuinya.

Sekitar tiga tahun lalu saya (red-Donny Magek Piliang) mencoba menelusuri jejak dan rumah kelahiran sang Doktor Ahli Virus dan Bakteri pertama Indonesia berkelas dunia itu, ke kampung halamannya di Nagari Ganggo Hilia Kecamatan Bonjol, Kabupaten Pasaman.

Bersama Bupati Pasaman Yusuf Lubis, saya mengunjungi rumah tua dokter Achmad Mochtar, kami diterima oleh dua orang cucunya (garis keturunan ibu), dr. Rubaiyat Proehoeman (64) yang akrab disapa ‘dokter rubi’, dan Prof. DR. Siti Chairani Proehoeman (68), senias dan dosen seriosa mancanegara.

Baca juga :

Monumen Pesawat Avro Anson RI-003 di Gadut Tilatang Kamang

Setelah tamat sekolah menengah, pada tahun 1916 Achmad Mochtar melanjutkan studinya ke Sekolah Dokter STOVIA di Batavia. Setelah tamat sekolah dokter di Stovia beliau melanjutkan kuliahnya di Amsterdam University Belanda.

Achmad Mochtar dapat menyelesaikan disertasinya pada tahun 1927 dengan hasil penelitiannya membantah (sangkalan) bahwa Leptospira bukanlah penyebab penyakit kuning, sehingga beliau berhak menyandang gelar Doktor pada bidang Bakteri Tropic dari Amsterdam University tersebut.

Selesai meraih gelar doctor tersebut (1927) beliau kembali ke tanah air dan dipekerjakan oleh pemerintah Hindia Belanda di laboratorium yang ada di tanah air, seperti di Bukittinggi, Padang, Bengkulu Semarang dan Batavia.

Pada masa selanjutnya, atas hasil penelitiannya terus menerus dan menulis buku-buku dibidang kedokteran, terutama terkait keahliannya itu, Achmad Mochtar dianugerahi gelar Guru Besar (Profesor) di Perguruan Tinggi yang sama (Belanda).

Pada tahun 1937 pemerintah Hindia Belanda mengangkatnya sebagai direktur The Central Medical Laboratory, kemudian lembaga ini bertukar nama menjadi Eijkman Laboratory.

Prof.DR. Achmad Mochtar, diangkat juga sebagai dosen dan sekaligus sebagai wakil rektor STOVIA, sementara rektornya adalah orang Belanda.

Di angkat sebagai kepala laboratorium sekaligus wakil rektor STOVIA adalah sebuah prestasi yang gemilang bagi rakyat pribumi karena tidak sembarang orang yang dapat dipercaya memegang kedua jabatan penting tersebut, apalagi bagi rakyat inlander semasa itu.

Petaka itupun tiba sewaktu tanah jajahan Hindia Belanda dirampas oleh tentara Jepang (1942), dan Jepang mendirikan Pemerintahan Militer.

Pada pemerintahan militer Jepang itu, banyak terjadi penyiksaan dan romusha dilaksankan. Dibalik semua penyiksaan dan romusha ini teremban misi jahat Jepang untuk menghabisi orang-orang kita.

Baca juga :

Vence Kandou, KKO Pengangkat Jenazah Para Jenderal dari Sumur Lubang Buaya 1965

Salah satu program Jepang tersebut adalah menebarkan virus/bakteri TCD (Typhus Cholera Dysentery) di tahun 1944 ke seluruh orang kita, terutama yang dipekerjakan sebagai kuli paksa (romusha) tersebut.

Untuk membuat produksi virus/bakteri itu, militer Jepang memaksa Achmad Mochtar laboratoriumnya memproduksi sebanyak-banyaknya virus/bakteri tersebut.

Namun Achmad Mochtar menolak kedua perintah militer Jepang tersebut, karena tidak mungkin dia mengkhianati dan membunuh bangsanya sendiri dengan memanfatkan keahlianya.

Karena selama ini dia meneliti dan mendalami berbagai bakteri tropis untuk membuat pencegahan dan berbagai macam obat supaya anak bangsanya tidak terjangkit penyakit yang berujung kematian akibat berbagai macam bakteri yang hidup subur di daerah berhawa topis seperti Indonesia.

Namun virus tetanus tersebut tetap disebar oleh tentara Jepang yang entah dari mana asalnya.

Untuk menghindari tuduhan sebagai penjahat perang yang mungkin saja pada suatu ketika nanti akan dibocorkan oleh Achmad Mochtar,
Jepang mengkambinghitamkan Achmad Mochtar dengan laboratorium yang dipimpinnya sebagai produsen virus TCD (Typhus Cholera Dysentery) dan sekaligus sebagai penebarnya.

Atas tuduhan yang direkayasa Pemerintahan Militer Jepang tersebut maka laboratorium itu ditutup paksa dan seluruh staf laboratorium itu diancam bunuh oleh Jepang.

Karena merasa tidak berbuat atas tuduhan Jepang itu ‘si Jenius’ putra Bonjol ini melakukan pembelaan dan melindungi seluruh stafnya. Namun fakta bercerita lain atas adatnya “si penguasa-Fasis”.

Tuduhan terhadap Achmad Mochtar, staf dan labournya tak mengalami perubahan. Akhirnya hukuman tetap dijalankan, sejumlah dokter dan ilmuwan ditawan untuk dieksekusi mati oleh tentara Jepang dengan tuduhan melakukan sabotase.

Setelah lebih dari 1.000 romusha di Klender, Jakarta tewas usai divaksin TCD (Typhus Cholera Dysentery) dengan rasa tanggung jawab selaku seorang pimpinan dan jati dirinya ‘Sang Profesor bakteri berkelas dunia dan yang pertama dari Asia’ ini mengambil sikap, dari pada anak buah dan kawan-kawan penelitinya yang menjadi korban keganasan militer Jepang maka dia meminta para peneliti dibebaskan dengan taruhan merelakan dirinya untuk menjalani eksekusi.

Dan Achmad Mochtar di eksekusi pada 3 Juli 1945, dari informasi yang berkembang selama ini diduga Achmad Muchtar dibunuh Militer Jepang dengan cara dibantai.

Menurut Siti Chairani, dengan mata yang berkaca-kaca menuturkan sebagaimana yang diceritakan oleh ibunya (keponakan Achmad Muchtar), bahwa kakeknya itu dibunuh lebih tragis, lebih kejam lagi seperti yang diduga tersebut.

Sebetulnya dengan cara digilas pakai mesin stomboal (mesin pelican pengaspal jalan) bertenaga uap.

Baca juga :

Siapa Sosok Fotografer Dibalik Foto Bung Karno Baca Teks Proklamasi?

Siti Chairani melanjutkan kisahnya, setelah kakeknya itu digilas bolak balik dengan mesin stomboal, barulah Jepang memanggil ibunya Achmad Mochtar untuk menjemput pakaian yang dipakai beliau yang sudah lumat dan berdarah-darah itu.

Dari kesaksian ibunya Chairani, pakaian yang dijemput tersebut sudah hancur dan tidak berbentuk lagi, tak ubahnya sudah seperti daun dimamah ulat.

Achmad Mochtar pergi tak meninggalkan bekas

Kalaupun ada nisannya di Ereveld, Ancol atau di Verzamelgraf Antjol, sekalipun di Makam Pahlawan Kalibata tak lebih hanyalah pajangan tulisan saja.

Achmad Mochtar meninggalkan seorang istri (Siti Hasnah : 1916-1945) dan dua orang anak laki-laki (Baharsjah Mochtar :1918-44) dan (Dr. Imramsjah Ade Mochtar : (1919-80). Kedua anaknya ini semasa SMP sudah di sekolahkan di Belanda dan tak pernah lagi pulang ke Indonesia, dan menurut Chairani, kedua anak pamanya ini pun sekarang sudah meninggal dunia di Belanda.


Melihat kondisi rumah lama alm. Prof.DR. Achmad Mochtar yang masih utuh dan terawat dengan pekarangan belakang rumah cukup luas dengan kolam ikannya, Bupati Pasaman, H. Yusuf Lubis mengharapkan rumah tersebut dapat dijadikan museum dan sekaligus sebagai perpustakaan Prof.DR. Achmad Mochtar.

Sehingga dapat menambah aset Pemda Pasaman yang sekaligus menjadi sarana edukasi dan motivasi bagi setiap generasi untuk mencintai sejarah para syuhada dan maju dalam pendidikan.

Siti Chairani atas nama keluarga besar Prof.DR. Achmad Mochtar menyampaikan harapannya, kiranya pemerintah terutama pemerintah daerah memberikan perhatian pada rumah kelahiran Prof.DR. Achmad Mochtar di Ganggo Hilia-Bonjol itu.

Namun sejauh ini, menurut pengakuan Chairani, belumlah ada pihak pemerintah yang menaruh perhatian, sekalipun pemerintah Sumatera Barat, semisal kunjungan sekalipun ke rumah kelahiran Prof. DR. Achmad Mochtar di Bonjol itu mungkin karena tidak tahu atau entah karena alasan apa, seakan beliau telah dilupakan atau terlupakan.


Sumber : Wikipedia, Grup Kaba Bukittinggi; tulisan Donny Magek Piliang

Foto : Padangkita.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *