SUMBAR24.COM — Saat ini tengah viral informasi tentang vaksin nusantara. Dilansir dari laman, Liputan6, Kamis (11/03/21), Ketua Tim Pengembang Vaksin Nusantara, Terawan Agus Putranto, mengungkapkan sejumlah alasannya mengembangkan vaksin COVID-19 berbasis sel dendritik tersebut. Hal itu ia sampaikan dalam Rapat Kerja Bersama Komisi IX DPR RI pada Rabu (10/03/21) lalu. Namun apakah vaksin ini sudah layak untuk digunakan melawan covid-19.
Menganggapi hal tersebut, Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny Lukito mengungkapkan, uji vaksin nusantara yang digagas mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto bermasalah. Penny Lukito menyoroti kaidah medis dalam pelaksanan penelitian.
“Pemenuhan good clinical practice juga tidak dilaksanakan dalam penelitian ini,” kata Penny dalam rapat kerja bersama komisi IX DPR yang dilihat Kamis (11/3/2021).
Penny mengatakan, izin pelaksanaan uji klinik fase 1 dikeluarkan oleh RSPAD Gatot Soebroto Jakarta. Namun, pelaksanaan penelitian malah dilakukan di RSUP dr Kariadi Semarang.
“Komite etik dikeluarkan di RSPAD, tapi pelaksanaan penelitian ada di Rumah Sakit Kariadi,” ucapnya.
Penny menambahkan, pihaknya belum memberikan sinyal untuk Persetujuan Pelaksanaan Uji Klinik (PPUK) uji klinis II vaksin nusantara. Sebab, secara keseluruhan segalanya masih berproses.
“Mengapa PPUK yang kedua belum, karena kita belum selesai dalam membahas bersama tim peneliti dari fase pertama. Itulah yang kami minta dan sudah sangat lama sekali kami minta. Tapi tidak merespons dengan cepat, malahan banyak sekali gerakan,” ungkap Kepala BPOM ini.
Selanjutnya Penny menegaskan, pengembangan Vaksin Nusantara harus melalui penelitian yang akurat. Khasiat vaksin juga harus dijelaskan dalam penelitian tersebut.
“Di dalam penelitian juga ada profil khasiat vaksin yang harus dijawab karena bukan hanya aspek keamanan saja, tapi di dalam tujuan sekunder adalah penelitian ini harus menunjukkan profil khasiat vaksin,” kata Penny.
“Karena apabila tidak menunjukkan potensi khasiat vaksin maka untuk melanjutkan ke fase berikutnya tidak etchical karena merugikan subjek penelitian,” sebut Penny Lukito.